Selasa, 02 Oktober 2012

kepemimpinan muawiyah


BAB I
KEPEMIMPINAN MUAWIYAH BIN ABI SUFYAN

A.     Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan (19 th 3 bln 41 H / 661 M : 60 H / 681 M)
Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan pendiri Dinasti bani Umayyah. Muawiyah masuk Islam pada saat peristiwa Fathu Makkah. Muawiyah lahir lahir empat tahun menjelang Rasulullah menjalankan dakwah di kota Makkah. Riwayat lain menyebutkan ia lahir dua tahun sebelum diutusnya Muhammad Saw menjadi Nabi. Beberapa riwayat menyatakan bahwa Muawiyah memeluk Islam bersama ayahnya, Abu Sufyan bin Harb dan ibunya Hindun binti Utbah tatkala terjadi Fathu Makkah.
Namun riwayat lain menyebutkan, Muawiyah masuk Islam pada peristiwa Umrah Qadha’ tetapi menyembunyikan keislamannya sampai peritistiwa Fathu Makkah.

                Di masa Rasulullah Saw, ia diangkat sebagai salah seorang pencatat wahyu setelah bermusyawarah dengan Malaikat Jibril. Ambillah dia sebagai penulis wahyu karena dia jujur,” kata Jibril.
Pada masa Khulafaur Rasyidin, Muawiyah diangkat menjadi salah seorang panglima perang di bawah komando utama Abu Ubaidah bin Jarrah. Kaum Muslimin berhasil  menaklukkan Palestina, Syria (Suriah), dan  Mesir dari tangan Imperium Romawi Timur. Berbagai kemenangan ini terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab.
                Ketika Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah menggantikan Umar, Muawiyah diangkat sebagai gubernur untuk wilayah Syria dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus menggantikan Gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah.

                Pada masa pemerintahan Ali, terjadi beberapa konflik antara kaum Muslimin. Di antaranya Perang Shiffin. Perang yang terjadi antara Ali dan Muawiyah ini berakhir dengan perdamaian.
Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh, kaum Muslimin sempat mengangkat putranya, Hasan bin Ali.
Namun melihat keadaan yang tidak menentu, setelah tiga bulan, akhirnya Hasan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah bin Abi Sufyan.




 
                Serah terima jabatan itu berlangsung di kota Kufah. Tahun inilah yang dalam sejarah dikenal dengan Amul Jama’ah (Tahun Kesatuan). Dengan demikian, Muawiyah resmi menjadi khalifah.
Beberapa kalangan ada yang menyebut Muawiyah dengan julukan yang jauh dari akhlak islami. Padahal walau bagaimanapun ia tetap sahabat Rasulullah, yang telah banyak memberikan sumbangan untuk Islam.

                Ia ikut di berbagai peperangan, baik di masa Rasuullah atau Khulafaur Rasyidin. Mengenai tudingan yang menjelekkannya, tidak semuanya bisa diterima begitu saja. Bahkan beberapa kebijakan yang oleh sebagian sahabat dianggap ‘menyimpang’ masih bisa dimaklumi. Kendati pun ada, hal itu wajar mengingat ia adalah manusia biasa yang kadang khilaf atau dipengaruhi orang-orang sekitarnya. Semua itu tidak mengurangi keutamaannya sebagai sahabat, bahkan masih terbilang keluarga dekat Rasulullah Saw.
Berikut biografi Muawiyah :
Nama         : Muawiyah
Julukan       : Abu Abdurrahman
Lahir          : tahun 606 M ( tahun ke-5 sebelum kenabian)
Ayah          : Abu Sufyan
Ibu             : Hindun
Silsilah ayah dan ibu bertemu pada : Abdu Syam
Silsilah Muawiyah dan Nabi Muhammad bertemu pada : Abdi Manaf

B.     Pengangkatan Menjadi Kholifah
Karier Politik Muawiyah dimulai sejak ia masuk Islam yaitu :
        Pada masa Nabi Muhammad                : menjadi anggota penulis wahyu
        Pada masa Kholifah Abu Bakar            : Panglima perang di wilayah Syam
        Pada masa Kholifah Umar                    : Gubernur Syiria
        Pada Masa Kholifah Utsman                : Gubernur Damaskus dan Syiria
        Pada masa Kholifah Ali                        : Ia di copot dari jabatannya sbg gubernur.
Muawiyah melakukan pemberontakan pada masa pemerintahan Kholifah Ali, dengan alasan menuntut balas kematian Utsman, bahkan ia menuduh bahwa Ali terlibat dalam peristiwa pembunuhan Kholifah Utsman.
Sedangkan Ali beranggapan bahwa kepemimpinan Muawiyah sebagai gubernur Damaskus banyak melakukan penyelewengan, selain itu Muawiyah juga berambisi menduduki jabatan Kholifah oleh karena itu Ali mencopot Muawiyah dari jabatannya sebagai Gubernur Damaskus.
Karena merasa sakit hati maka Muawiyah melakukan pemberontakan sehingga terjadilah Perang Shiffin, dalam peperangan ini diakhiri dengan perdamaian / Arbitrase / Tahkim. Namun sayang dalam peristiwa tahkim ini, pihak Muawiyah melakukan tipu muslihat atas saran dari Amr bin Ash.
Setelah peristiwa tahkim, pihak Ali merasa dirugikan dan pendukunh Ali terpecah menjadi 2 kelompok yaitu Syi’ah dan Khawarij.Orang-orang khawarij melakukan rencana hendak membunuh 3 orang yang dianggap sebagai dalang perpecahan umat Islam yaitu (Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Ash, dan Ali bin Abi Tholib). Namun rencana tersebut gagal hanya orang yang bertugas membunuh Ali yang berhasil.
Setelah Ali terbunuh, orang-orang Syi’ah mengangkat Hasan bin Ali sebagai Kholifah, namun pihak muawiyah menolak. Disisi lain Hasan tidak berambisi menjadi Kholifah dan tidak mau terjadi perpecahan berlanjut di tubuh umat Islam, akhirnya Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kekholifaha kepada Muawiayah.
Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah dengan beberapa syarat yaitu :
1.        Muawiyah tidak menarik pajak dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak
2.        Muawiyah tidak lagi mencacimaki Ali dan keluarganya
3.        Muawiyah menyerahkan sebagian harta Baitul Mal kepada Hasan
4.        Setelah kekholifahan muawiyah berahir, jabatan Kholifah diserahkan kepada umat Islam.
            Muawiyah berjanji memenuhi syarat tersebut, akhirnya Muawiyah secara resmi diangkat sebagaiKholifah pada tahun 661 H.








C.     Gaya Kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan
Sistem pemerintahan yang dijalankan pemerintahan bani Umayyah adalah Monarchi Heridities. Yaitu system pemerintahan kerajaan / turun temurun, hal ini dibuktikan setelah Muawiyah wafat ia menyerahkan kekuasaan kekholifahan kepada putranya yaitu Yazid bin Muawiyah.
Hal inilah yang menyebabkan pemberontakan yang dilakukan oleh Husain bin Ali (saudara Hasan). Sehingga terjadi perang di padang Karba’ Irak. Dalam perang ini Hasan beserta seluruh keluarganya terbunuh.
Dalam menjalankan pemerintahan Muawiyah memang terkenal keras dan otoriter. Namun gaya kepemimpinan inilah yang menjadikan pemerintahan Islam berjalan stabil karena ia selalu berusaha menumpas para pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah.
Sejalan dengan watak dan prinsip Muawiyah tersebut serta pemikirannya yang perspektif dan inovatif, ia membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusan politik dalam dan luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan menyempurnakannya. Pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus.
Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan politik dan alasan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah pusat kaum Syiah pendukung Ali, dan jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antara dua bani itu dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak diwilayah Syam (Suria) adalah daerah yang berada di bawah gengaman pengaruh Muawiyah selama 20 tahun sejak ia diangkat menjadi Gubernur di distirk itu sejak zaman Khalifah Umar bin Khatab.
Kedua, Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangannya mencapai pundak kekuasaan. Seperti Amr bin Ash ia angkat kembali menjadi Gubernur di Mesir, Al-Mughirah bin Syu’bah juga ia diangkat menjadi Gubernur diwilayah Persia. Ia juga memperlakukan dengan baik dan mengambil baik para sahabat terkemuka yang bersikap netral terhadap berbagai kasus yang ditimbul waktu itu, sehingga mereka berpihak kepadanya.
Ketiga, Menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum pemberontak. Ia menumpas kaum Khawarij yang merongsong wibawa kekuasaannya dan mengkafirkannya. Golongan ini menunduhnya tidak mau berhukum kepada Al-Qur’an dalam mewujudkan perdamaian dengan Ali diperang Shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu politiknya.
Keempat, membangun kekuatan militer yang terdiri dari tiga angakatan, darat, laut dan kepolisian yang tangguh dan loyal. Mereka diberi gaji yang cukup, dua kali lebih besar dari pada yang diberi pada yang diberikan Umar kepada tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam negeri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negeri yaitu memperluas wilayah kekuasaan.

            Kelima, meneruskan wilayah kekuasaan Islam baik ke Timur maupun ke Barat. Perluasan wilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti Khalifah Abd al-Malik ke Timur, Khalifah al-Walid ke Barat, dan ke Perancis di zaman Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Perluasan wilayah dizaman Dinasti ini merupakan ekspansi besar kedua setelah ekspansi besar pertama di zaman Umar bin Khattab.
Daerah-daerah yang dikuasai umat Islam dizaman Dinasti ini meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebahagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Rurkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, sehingga Dinasti ini berhasil membangun Negara besar di zaman itu.
Bersatunya berbagai suku bangsa di bawah naungan Islam melahirkan benih-benih peradaban baru yang bercorak Islam, sekalipun Bani Umayah lebih memusatkan perhatiannya kepada pengembangan kebudayaan Arab. Benih-benih peradaban baru itu kelak berkembang pesat di zaman Dinasti Abbasiyah sehingga Dunia Islam menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad.
Keenam, baik Muawiyah maupun para penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman Khulafa al-Rasyidin. Mereka merekrut orang-orang non-musim sebagai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan dikesatuan-kesatuan tentara. Tapi di zaman Khulafaur Umar bin Abd al-Aziz kebijaksanaan itu ia hapuskan. Karena orang-orang non-Muslim (Yahudi, Nasrani, Majusi) yang memperoleh privilege di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah mereka. Didalam Al-Qur’an memang terdapat peringatan-peringatan yang tidak membolehkan orang-orang mukmin merekrut orang-orang non-muslim sebagai teman kepercayaan dalam mengatur urusan orang-orang mukmin.
Ketujuh, Muawiyah mengadakan pembaharuan dibidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang dipengaruhi oleh kebudayaan Byzantium.
Kedelapan, Kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh Khalifah Muawiyah adalah Mengubah system pemerintahan dari bentuk Khalifah yang bercorak Demokratis menjadi system Monarki dengan mengankat putranya, Yazid, menjadi putra Mahkota untuk menggantikannya sebagai Khalifah sepeninggalnya nanti. Ini berarti suksesi kepemimpinan berlansung secara turun-temurun yang diikuti oleh para pengganti Muawiyah.
Dengan demikian ia mempelopori meninggalkan tradisi di Zaman Khulafa al-Rasyidin dimana Khalifah ditetapkan melalui pemilihan oleh umat. Lebih dari itu Muawiyah telah melanggar asas musyawarah yang diperintahkan oleh Al-Qur’an agar segala urusan diputuskan melalui musyawarah.
            Karena itu keputusan politik Muawiyah itu mendapat protes dari umat Islam golongan Syi’ah, pendukung Ali, Abd al-Rahman bin Abi Bakar, Husein bin Ali, dan Abdullah bin Zubeir. Bahkan kalangan tokoh masyarakat Madinah mengadakan dialog dengan Muawiyah. Mereka menyarankan agar ia mengikuti jejak Rasulullah atau Abu Bakar dan atau Umar dalam urusan Khalifah tidak mendahulukan kabilah dari umat. Muawiyah tidak mengubris saran ini. Alasan yang dikemukakan karena ia khawatir akan timbul kekacauan, dan akan mengancam stabilitas keamanan kalau ia tidak mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya.
Keputusan ini direkayasa oleh Muawiyah seolah-seolah mendapatkan dukungan dari para pejabat penting pemerintah. Ia memanggil para Gubernur datang ke Damaskus agar mereka membuat semacam “kebulatan tekad” mendukung keputusannya. Ia meminta salah seorang gubernur yang bernama Al-Dhahhak bin Qais al-Fahri agar, setelah ia (Muawiyah) berpidato dan memberi nasehat dalam suatu pertemuan, minta izin berbicara dengan memuji Allah dan menyatakn, Yazid adalah orang yang pantas memangku jabatan khalifah setelah Muawiyah. Kepada para Gubernur lain diminta oleh Muawiyah agar membenarkan ucapan Dhahhak. Mereka memenuhi perintah itu, kecuali Gubernur Ahnaf bin Qais.


Walaupun Muawiyah mengubah system pemerintahan menjadi monarki, namun dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Bahkan Muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin. Dan status jabatan Khalifah diartikan sebagai “Wakil Allah” dalam mempimpin umat dengan menggantikannya kepada Al-Qur’an (surat al-Baqarah ayat 30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan khalifah didasarkan atas perkenaan Allah. Siapa yang menentangnya adalah kafir.

            Pengelolaan administrasi pemerintahan dan struktur pemerintahan Dinasti Bani Umayah merupakan penyempurnaan dari pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang diciptakan oleh Khalifah Umar. Wilayah kekuasaan yang luas itu, sebagaimana pada periode Negara madinah, dibagi menjadi beberapa wilayah provinsi. Setiap provinsi dikepalai oleh Gubernur dengan gelar wali atau amir yang diangkat oleh Khalifah. Gubernur didampingi oleh seorang atau beberapa katib (sekretaris), seorang hajib (pengawal) dan pejabat-pejabat penting lain, yaitu shahib al-kharaj (pejabat pendapatan), shahib al-syurthat (pejabat kepolisian), dan qadhi (kepala keagamaan dan hakim). Pejabat pendapatan dan qadhi diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab kepadanya.

            Di tingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lembaga dan departemen, al-katib, al-hajib dan diwan. Lembaga al-katib terdiri dari katib al-rasail (Sekretaris Negara), katib al-kharaj (sekretaris Pendapatan Negara), katib al-jund (sekretaris militer) katib al-syurthat (sekretaris kepolisian) dan katib al-qadhi (panitera). Katib al-rasail dianggap paling penting posisinya. Karena itu pejabatnya selalu orang terpercaya dan pandai serta dari keluarga kerajaan.
            Para katib betugas mengurus administrasi Negara secara baik dan rapih untuk mewujudkan kemaslahatan Negara. Al-Hanib (pengawal dan kepala rumah tangga istana) bertugas mengatur para pejabat atau siapapun yang ingin bertemu dengan khalifah. Lembaga ini belum dikenal dizaman Negara Madinah. Karenanya siapa saja boleh bertemu dan berbicara langsung dengan khalifah tanpa melalui birokrasi. Tapi ada tiga orang yang boleh langsung bertemu dengan khalifah tanpa hijab, yaitu muzin untuk memberitahukan waktu shalat kepada khalifah. Shahib al-barid (pejabat pos) yang membawa berita-berita penting untuk khalifah, dan shahib al-tha’am, petugas yang mengurus hal-ihwal makanan di istana. Lembaga al-syurthat yang dipimpin oleh shihab al-syurthat bertugas memilihara keamanan masyarakat dan Negara.
            Lembaga lain adalah dibidang pelaksanaan hukum, yaitu Al-Nizham al-qadhai terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha, al-hisbat dan al-mazhalim. Badan al-qadha dipimpin oleh seorang qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari al-Qur’an, Sunnah Rasul, atau Ijmak dan atau Ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum terhadap para pejabat, pegawai Negara yang melakukan pelanggaran. Pejabat badan al-hisbat disebut al-muhtasib, tugasnya menangani krimininal yan perlu penyelesaian segera.
Pejabat badan al-mazhalim disebut qadhi al-mazhalim atau shahib al-mazhalim. Kedudukan badan ini lebih dari al-qadha dan al-hisbat. Karena badan ini bertugas meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh qadhi dan muhtasib. Bila ada suatu kasus perkara yang keputusannya dianggap perlu ditinjau kembali baik perkara seorang rakyat maupun pejabat yang menyalagunakan jabatannya, badan ini menyelenggarakan mahkamat al-mazhalim yang mengambil tempat di masjid. Sidang ini dihadiri oleh lima unsur lengkap, yaitu para pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib dan para saksi, yang dipimpin oleh qadhi al-mazhalim.
Berarti pemerintahan Dinasti Umayah, sebagaimana pada periode Negara Madinah, peradilan bebas tetap dilaksanakan.

            Didalam tubuh organisasi pemerintahan Dinasti Umayah juga dibentuk beberapa diwan atau departemen. 1). Diwan al-Rasail, departemen yang mengurus surat-surat Negara dari Khalifah kepada para Gubernur atau menerima surat-surat dari Gubernur. Departemen ini memiliki dua sekretariat, untuk pusat menggunkan bahsa Arab, dan untuk daerah menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Tapi pada masa Khalifah Abd al-Malik diadakan arabisasi, yaitu hanya menggunakan bahasa Arab dalam surat-surat Negara.
 Politik arabisasi ini berlanjut pada masa putranya, Khalifah Al-Walid, yaitu penggunaan bahasa Arab sebagai linguafranca dan bahsa ilmu pengetahuan untuk seluruh wilayah pemerintahan. Pengaruhnya berlanjut sampai sekarang. Misalnya Mesir dan Irak menggunakan bahasa Pahlawi dan Kpti, dan Damaskus bahasa Greek, kini menggunakan bahasa Arab. Kebijaksanaan ini mendorong seorang ulama, sibawaih, untuk menyususn Al-Kitab yang selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
 Diwan al-Khatim, departemen pencatatan yang bertugas menyalin dan meregistrasi semua keputusan khalifah atau peraturan-peraturan pemerintah untuk dikirim kepada pemerintahan di daerah. 3). Diwan al-Kharaj, usyur, zakat, jizyah, fa’I dan ghanimah dan sumber lain. Semua pemasukan keuangan yang diperoleh dari sumber-sumber itu disimpan di Baitul Mal (kantor perbendaharaan Negara. 4).
Diwan al-Barid, departemen pelayanan pos bertugas melayani informasi tentang berita-berita penting di daerah kepada pemerintahan pusat dan sebaliknya, sehingga khalifah dapat mengetahui apa yang terjadi di daerah dan memudahkannya untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah. 5). Diwanul al-jund, departemen pertahanan yang bertugas mengornisir militer. Personilnya mayoritas orang-orang Arab.


D.    Jasa Peninggalan Kholifah Muawiyah bin Abi Sufyan
Pada masa Umayyah, baitul Mal = Lembaga pemerintahan yang bertugas mengurus masalah keuangan Negara, beralih fungsi dari harta hak seluruh rakyat menjadi harta kekayaan pribadi kholifah.
Adapun kebijakan-kebijakan yang dilakukan pada masa pemerintahan Kholifah Muawiyah antara lain adalah :
1.        Pembentukan Diwanul Hijabah
Bertugas memberikan pengawalan khusus terhadap Khlifah, hal ini dikarenakan kekhawatiran muawiyah melihat 3 kholifah sebelumnya meninggal karena terbunuh
2.        Pembentukan Diwanul Khatam
Bertugas mencatat semua kebijakan Kholifah mengantisipasi peristiwa pembunuhan Kholifah Utsman yang disebabkan Surat misterius
3.        Pembentukan Diwanul Barid
Departemen pos yang bertugas mengantarkan surat-surat resmi pemerintah
4.        Pembentukan Shohibul Kharaj
Bertugas memungut pajak dari rakyat.


Daftar Pustaka

Pulungan, J Suyuthi . 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta
Syalabi, Ahmad. 1998. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid I. terjemahan Muchtar Yahya dan Sanusi Latif. Pustaka Al-Husna: Jakarta.
Nasution, Harun. 1986. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. UI-Press: Jakarta.
Islam. Jilid I. Departemen Agama RI.


kepemimpinan muawiyah


BAB I
KEPEMIMPINAN MUAWIYAH BIN ABI SUFYAN

A.     Biografi Muawiyah bin Abi Sufyan (19 th 3 bln 41 H / 661 M : 60 H / 681 M)
Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan pendiri Dinasti bani Umayyah. Muawiyah masuk Islam pada saat peristiwa Fathu Makkah. Muawiyah lahir lahir empat tahun menjelang Rasulullah menjalankan dakwah di kota Makkah. Riwayat lain menyebutkan ia lahir dua tahun sebelum diutusnya Muhammad Saw menjadi Nabi. Beberapa riwayat menyatakan bahwa Muawiyah memeluk Islam bersama ayahnya, Abu Sufyan bin Harb dan ibunya Hindun binti Utbah tatkala terjadi Fathu Makkah.
Namun riwayat lain menyebutkan, Muawiyah masuk Islam pada peristiwa Umrah Qadha’ tetapi menyembunyikan keislamannya sampai peritistiwa Fathu Makkah.

                Di masa Rasulullah Saw, ia diangkat sebagai salah seorang pencatat wahyu setelah bermusyawarah dengan Malaikat Jibril. Ambillah dia sebagai penulis wahyu karena dia jujur,” kata Jibril.
Pada masa Khulafaur Rasyidin, Muawiyah diangkat menjadi salah seorang panglima perang di bawah komando utama Abu Ubaidah bin Jarrah. Kaum Muslimin berhasil  menaklukkan Palestina, Syria (Suriah), dan  Mesir dari tangan Imperium Romawi Timur. Berbagai kemenangan ini terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab.
                Ketika Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah menggantikan Umar, Muawiyah diangkat sebagai gubernur untuk wilayah Syria dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus menggantikan Gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah.

                Pada masa pemerintahan Ali, terjadi beberapa konflik antara kaum Muslimin. Di antaranya Perang Shiffin. Perang yang terjadi antara Ali dan Muawiyah ini berakhir dengan perdamaian.
Ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh, kaum Muslimin sempat mengangkat putranya, Hasan bin Ali.
Namun melihat keadaan yang tidak menentu, setelah tiga bulan, akhirnya Hasan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah bin Abi Sufyan.




 
                Serah terima jabatan itu berlangsung di kota Kufah. Tahun inilah yang dalam sejarah dikenal dengan Amul Jama’ah (Tahun Kesatuan). Dengan demikian, Muawiyah resmi menjadi khalifah.
Beberapa kalangan ada yang menyebut Muawiyah dengan julukan yang jauh dari akhlak islami. Padahal walau bagaimanapun ia tetap sahabat Rasulullah, yang telah banyak memberikan sumbangan untuk Islam.

                Ia ikut di berbagai peperangan, baik di masa Rasuullah atau Khulafaur Rasyidin. Mengenai tudingan yang menjelekkannya, tidak semuanya bisa diterima begitu saja. Bahkan beberapa kebijakan yang oleh sebagian sahabat dianggap ‘menyimpang’ masih bisa dimaklumi. Kendati pun ada, hal itu wajar mengingat ia adalah manusia biasa yang kadang khilaf atau dipengaruhi orang-orang sekitarnya. Semua itu tidak mengurangi keutamaannya sebagai sahabat, bahkan masih terbilang keluarga dekat Rasulullah Saw.
Berikut biografi Muawiyah :
Nama         : Muawiyah
Julukan       : Abu Abdurrahman
Lahir          : tahun 606 M ( tahun ke-5 sebelum kenabian)
Ayah          : Abu Sufyan
Ibu             : Hindun
Silsilah ayah dan ibu bertemu pada : Abdu Syam
Silsilah Muawiyah dan Nabi Muhammad bertemu pada : Abdi Manaf

B.     Pengangkatan Menjadi Kholifah
Karier Politik Muawiyah dimulai sejak ia masuk Islam yaitu :
        Pada masa Nabi Muhammad                : menjadi anggota penulis wahyu
        Pada masa Kholifah Abu Bakar            : Panglima perang di wilayah Syam
        Pada masa Kholifah Umar                    : Gubernur Syiria
        Pada Masa Kholifah Utsman                : Gubernur Damaskus dan Syiria
        Pada masa Kholifah Ali                        : Ia di copot dari jabatannya sbg gubernur.
Muawiyah melakukan pemberontakan pada masa pemerintahan Kholifah Ali, dengan alasan menuntut balas kematian Utsman, bahkan ia menuduh bahwa Ali terlibat dalam peristiwa pembunuhan Kholifah Utsman.
Sedangkan Ali beranggapan bahwa kepemimpinan Muawiyah sebagai gubernur Damaskus banyak melakukan penyelewengan, selain itu Muawiyah juga berambisi menduduki jabatan Kholifah oleh karena itu Ali mencopot Muawiyah dari jabatannya sebagai Gubernur Damaskus.
Karena merasa sakit hati maka Muawiyah melakukan pemberontakan sehingga terjadilah Perang Shiffin, dalam peperangan ini diakhiri dengan perdamaian / Arbitrase / Tahkim. Namun sayang dalam peristiwa tahkim ini, pihak Muawiyah melakukan tipu muslihat atas saran dari Amr bin Ash.
Setelah peristiwa tahkim, pihak Ali merasa dirugikan dan pendukunh Ali terpecah menjadi 2 kelompok yaitu Syi’ah dan Khawarij.Orang-orang khawarij melakukan rencana hendak membunuh 3 orang yang dianggap sebagai dalang perpecahan umat Islam yaitu (Muawiyah bin Abi Sufyan, Amr bin Ash, dan Ali bin Abi Tholib). Namun rencana tersebut gagal hanya orang yang bertugas membunuh Ali yang berhasil.
Setelah Ali terbunuh, orang-orang Syi’ah mengangkat Hasan bin Ali sebagai Kholifah, namun pihak muawiyah menolak. Disisi lain Hasan tidak berambisi menjadi Kholifah dan tidak mau terjadi perpecahan berlanjut di tubuh umat Islam, akhirnya Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kekholifaha kepada Muawiayah.
Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah dengan beberapa syarat yaitu :
1.        Muawiyah tidak menarik pajak dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak
2.        Muawiyah tidak lagi mencacimaki Ali dan keluarganya
3.        Muawiyah menyerahkan sebagian harta Baitul Mal kepada Hasan
4.        Setelah kekholifahan muawiyah berahir, jabatan Kholifah diserahkan kepada umat Islam.
            Muawiyah berjanji memenuhi syarat tersebut, akhirnya Muawiyah secara resmi diangkat sebagaiKholifah pada tahun 661 H.








C.     Gaya Kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan
Sistem pemerintahan yang dijalankan pemerintahan bani Umayyah adalah Monarchi Heridities. Yaitu system pemerintahan kerajaan / turun temurun, hal ini dibuktikan setelah Muawiyah wafat ia menyerahkan kekuasaan kekholifahan kepada putranya yaitu Yazid bin Muawiyah.
Hal inilah yang menyebabkan pemberontakan yang dilakukan oleh Husain bin Ali (saudara Hasan). Sehingga terjadi perang di padang Karba’ Irak. Dalam perang ini Hasan beserta seluruh keluarganya terbunuh.
Dalam menjalankan pemerintahan Muawiyah memang terkenal keras dan otoriter. Namun gaya kepemimpinan inilah yang menjadikan pemerintahan Islam berjalan stabil karena ia selalu berusaha menumpas para pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah.
Sejalan dengan watak dan prinsip Muawiyah tersebut serta pemikirannya yang perspektif dan inovatif, ia membuat berbagai kebijaksanaan dan keputusan politik dalam dan luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan menyempurnakannya. Pertama, pemindahan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus.
Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan politik dan alasan keamanan. Karena letaknya jauh dari Kufah pusat kaum Syiah pendukung Ali, dan jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antara dua bani itu dalam memperebutkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak diwilayah Syam (Suria) adalah daerah yang berada di bawah gengaman pengaruh Muawiyah selama 20 tahun sejak ia diangkat menjadi Gubernur di distirk itu sejak zaman Khalifah Umar bin Khatab.
Kedua, Muawiyah memberi penghargaan kepada orang-orang yang berjasa dalam perjuangannya mencapai pundak kekuasaan. Seperti Amr bin Ash ia angkat kembali menjadi Gubernur di Mesir, Al-Mughirah bin Syu’bah juga ia diangkat menjadi Gubernur diwilayah Persia. Ia juga memperlakukan dengan baik dan mengambil baik para sahabat terkemuka yang bersikap netral terhadap berbagai kasus yang ditimbul waktu itu, sehingga mereka berpihak kepadanya.
Ketiga, Menumpas orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya jika tidak bisa dibujuk dengan harta dan kedudukan, dan menumpas kaum pemberontak. Ia menumpas kaum Khawarij yang merongsong wibawa kekuasaannya dan mengkafirkannya. Golongan ini menunduhnya tidak mau berhukum kepada Al-Qur’an dalam mewujudkan perdamaian dengan Ali diperang Shiffin melainkan ia mengikuti ambisi hawa nafsu politiknya.
Keempat, membangun kekuatan militer yang terdiri dari tiga angakatan, darat, laut dan kepolisian yang tangguh dan loyal. Mereka diberi gaji yang cukup, dua kali lebih besar dari pada yang diberi pada yang diberikan Umar kepada tentaranya. Ketiga angkatan ini bertugas menjamin stabilitas keamanan dalam negeri dan mendukung kebijaksanaan politik luar negeri yaitu memperluas wilayah kekuasaan.

            Kelima, meneruskan wilayah kekuasaan Islam baik ke Timur maupun ke Barat. Perluasan wilayah ini diteruskan oleh para penerus Muawiyah, seperti Khalifah Abd al-Malik ke Timur, Khalifah al-Walid ke Barat, dan ke Perancis di zaman Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Perluasan wilayah dizaman Dinasti ini merupakan ekspansi besar kedua setelah ekspansi besar pertama di zaman Umar bin Khattab.
Daerah-daerah yang dikuasai umat Islam dizaman Dinasti ini meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebahagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Rurkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah, sehingga Dinasti ini berhasil membangun Negara besar di zaman itu.
Bersatunya berbagai suku bangsa di bawah naungan Islam melahirkan benih-benih peradaban baru yang bercorak Islam, sekalipun Bani Umayah lebih memusatkan perhatiannya kepada pengembangan kebudayaan Arab. Benih-benih peradaban baru itu kelak berkembang pesat di zaman Dinasti Abbasiyah sehingga Dunia Islam menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad.
Keenam, baik Muawiyah maupun para penggantinya membuat kebijaksanaan yang berbeda dari zaman Khulafa al-Rasyidin. Mereka merekrut orang-orang non-musim sebagai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter dan dikesatuan-kesatuan tentara. Tapi di zaman Khulafaur Umar bin Abd al-Aziz kebijaksanaan itu ia hapuskan. Karena orang-orang non-Muslim (Yahudi, Nasrani, Majusi) yang memperoleh privilege di dalam pemerintahan banyak merugikan kepentingan umat Islam bahkan menganggap rendah mereka. Didalam Al-Qur’an memang terdapat peringatan-peringatan yang tidak membolehkan orang-orang mukmin merekrut orang-orang non-muslim sebagai teman kepercayaan dalam mengatur urusan orang-orang mukmin.
Ketujuh, Muawiyah mengadakan pembaharuan dibidang administrasi pemerintahan dan melengkapinya dengan jabatan-jabatan baru yang dipengaruhi oleh kebudayaan Byzantium.
Kedelapan, Kebijaksanaan dan keputusan politik penting yang dibuat oleh Khalifah Muawiyah adalah Mengubah system pemerintahan dari bentuk Khalifah yang bercorak Demokratis menjadi system Monarki dengan mengankat putranya, Yazid, menjadi putra Mahkota untuk menggantikannya sebagai Khalifah sepeninggalnya nanti. Ini berarti suksesi kepemimpinan berlansung secara turun-temurun yang diikuti oleh para pengganti Muawiyah.
Dengan demikian ia mempelopori meninggalkan tradisi di Zaman Khulafa al-Rasyidin dimana Khalifah ditetapkan melalui pemilihan oleh umat. Lebih dari itu Muawiyah telah melanggar asas musyawarah yang diperintahkan oleh Al-Qur’an agar segala urusan diputuskan melalui musyawarah.
            Karena itu keputusan politik Muawiyah itu mendapat protes dari umat Islam golongan Syi’ah, pendukung Ali, Abd al-Rahman bin Abi Bakar, Husein bin Ali, dan Abdullah bin Zubeir. Bahkan kalangan tokoh masyarakat Madinah mengadakan dialog dengan Muawiyah. Mereka menyarankan agar ia mengikuti jejak Rasulullah atau Abu Bakar dan atau Umar dalam urusan Khalifah tidak mendahulukan kabilah dari umat. Muawiyah tidak mengubris saran ini. Alasan yang dikemukakan karena ia khawatir akan timbul kekacauan, dan akan mengancam stabilitas keamanan kalau ia tidak mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya.
Keputusan ini direkayasa oleh Muawiyah seolah-seolah mendapatkan dukungan dari para pejabat penting pemerintah. Ia memanggil para Gubernur datang ke Damaskus agar mereka membuat semacam “kebulatan tekad” mendukung keputusannya. Ia meminta salah seorang gubernur yang bernama Al-Dhahhak bin Qais al-Fahri agar, setelah ia (Muawiyah) berpidato dan memberi nasehat dalam suatu pertemuan, minta izin berbicara dengan memuji Allah dan menyatakn, Yazid adalah orang yang pantas memangku jabatan khalifah setelah Muawiyah. Kepada para Gubernur lain diminta oleh Muawiyah agar membenarkan ucapan Dhahhak. Mereka memenuhi perintah itu, kecuali Gubernur Ahnaf bin Qais.


Walaupun Muawiyah mengubah system pemerintahan menjadi monarki, namun dinasti ini tetap memakai gelar khalifah. Bahkan Muawiyah menyebut dirinya sebagai Amir al-Mu’minin. Dan status jabatan Khalifah diartikan sebagai “Wakil Allah” dalam mempimpin umat dengan menggantikannya kepada Al-Qur’an (surat al-Baqarah ayat 30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan khalifah didasarkan atas perkenaan Allah. Siapa yang menentangnya adalah kafir.

            Pengelolaan administrasi pemerintahan dan struktur pemerintahan Dinasti Bani Umayah merupakan penyempurnaan dari pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang diciptakan oleh Khalifah Umar. Wilayah kekuasaan yang luas itu, sebagaimana pada periode Negara madinah, dibagi menjadi beberapa wilayah provinsi. Setiap provinsi dikepalai oleh Gubernur dengan gelar wali atau amir yang diangkat oleh Khalifah. Gubernur didampingi oleh seorang atau beberapa katib (sekretaris), seorang hajib (pengawal) dan pejabat-pejabat penting lain, yaitu shahib al-kharaj (pejabat pendapatan), shahib al-syurthat (pejabat kepolisian), dan qadhi (kepala keagamaan dan hakim). Pejabat pendapatan dan qadhi diangkat oleh khalifah dan bertanggung jawab kepadanya.

            Di tingkat pemerintahan pusat dibentuk beberapa lembaga dan departemen, al-katib, al-hajib dan diwan. Lembaga al-katib terdiri dari katib al-rasail (Sekretaris Negara), katib al-kharaj (sekretaris Pendapatan Negara), katib al-jund (sekretaris militer) katib al-syurthat (sekretaris kepolisian) dan katib al-qadhi (panitera). Katib al-rasail dianggap paling penting posisinya. Karena itu pejabatnya selalu orang terpercaya dan pandai serta dari keluarga kerajaan.
            Para katib betugas mengurus administrasi Negara secara baik dan rapih untuk mewujudkan kemaslahatan Negara. Al-Hanib (pengawal dan kepala rumah tangga istana) bertugas mengatur para pejabat atau siapapun yang ingin bertemu dengan khalifah. Lembaga ini belum dikenal dizaman Negara Madinah. Karenanya siapa saja boleh bertemu dan berbicara langsung dengan khalifah tanpa melalui birokrasi. Tapi ada tiga orang yang boleh langsung bertemu dengan khalifah tanpa hijab, yaitu muzin untuk memberitahukan waktu shalat kepada khalifah. Shahib al-barid (pejabat pos) yang membawa berita-berita penting untuk khalifah, dan shahib al-tha’am, petugas yang mengurus hal-ihwal makanan di istana. Lembaga al-syurthat yang dipimpin oleh shihab al-syurthat bertugas memilihara keamanan masyarakat dan Negara.
            Lembaga lain adalah dibidang pelaksanaan hukum, yaitu Al-Nizham al-qadhai terdiri dari tiga bagian, yaitu al-qadha, al-hisbat dan al-mazhalim. Badan al-qadha dipimpin oleh seorang qadhi yang bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari al-Qur’an, Sunnah Rasul, atau Ijmak dan atau Ijtihad. Badan ini bebas dari pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum terhadap para pejabat, pegawai Negara yang melakukan pelanggaran. Pejabat badan al-hisbat disebut al-muhtasib, tugasnya menangani krimininal yan perlu penyelesaian segera.
Pejabat badan al-mazhalim disebut qadhi al-mazhalim atau shahib al-mazhalim. Kedudukan badan ini lebih dari al-qadha dan al-hisbat. Karena badan ini bertugas meninjau kembali akan kebenaran dan keadilan keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh qadhi dan muhtasib. Bila ada suatu kasus perkara yang keputusannya dianggap perlu ditinjau kembali baik perkara seorang rakyat maupun pejabat yang menyalagunakan jabatannya, badan ini menyelenggarakan mahkamat al-mazhalim yang mengambil tempat di masjid. Sidang ini dihadiri oleh lima unsur lengkap, yaitu para pembantu sebagai juri, para hakim, para fuqaha, para katib dan para saksi, yang dipimpin oleh qadhi al-mazhalim.
Berarti pemerintahan Dinasti Umayah, sebagaimana pada periode Negara Madinah, peradilan bebas tetap dilaksanakan.

            Didalam tubuh organisasi pemerintahan Dinasti Umayah juga dibentuk beberapa diwan atau departemen. 1). Diwan al-Rasail, departemen yang mengurus surat-surat Negara dari Khalifah kepada para Gubernur atau menerima surat-surat dari Gubernur. Departemen ini memiliki dua sekretariat, untuk pusat menggunkan bahsa Arab, dan untuk daerah menggunakan bahasa Yunani dan bahasa Persia. Tapi pada masa Khalifah Abd al-Malik diadakan arabisasi, yaitu hanya menggunakan bahasa Arab dalam surat-surat Negara.
 Politik arabisasi ini berlanjut pada masa putranya, Khalifah Al-Walid, yaitu penggunaan bahasa Arab sebagai linguafranca dan bahsa ilmu pengetahuan untuk seluruh wilayah pemerintahan. Pengaruhnya berlanjut sampai sekarang. Misalnya Mesir dan Irak menggunakan bahasa Pahlawi dan Kpti, dan Damaskus bahasa Greek, kini menggunakan bahasa Arab. Kebijaksanaan ini mendorong seorang ulama, sibawaih, untuk menyususn Al-Kitab yang selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
 Diwan al-Khatim, departemen pencatatan yang bertugas menyalin dan meregistrasi semua keputusan khalifah atau peraturan-peraturan pemerintah untuk dikirim kepada pemerintahan di daerah. 3). Diwan al-Kharaj, usyur, zakat, jizyah, fa’I dan ghanimah dan sumber lain. Semua pemasukan keuangan yang diperoleh dari sumber-sumber itu disimpan di Baitul Mal (kantor perbendaharaan Negara. 4).
Diwan al-Barid, departemen pelayanan pos bertugas melayani informasi tentang berita-berita penting di daerah kepada pemerintahan pusat dan sebaliknya, sehingga khalifah dapat mengetahui apa yang terjadi di daerah dan memudahkannya untuk mengontrol jalannya pemerintahan di daerah. 5). Diwanul al-jund, departemen pertahanan yang bertugas mengornisir militer. Personilnya mayoritas orang-orang Arab.


D.    Jasa Peninggalan Kholifah Muawiyah bin Abi Sufyan
Pada masa Umayyah, baitul Mal = Lembaga pemerintahan yang bertugas mengurus masalah keuangan Negara, beralih fungsi dari harta hak seluruh rakyat menjadi harta kekayaan pribadi kholifah.
Adapun kebijakan-kebijakan yang dilakukan pada masa pemerintahan Kholifah Muawiyah antara lain adalah :
1.        Pembentukan Diwanul Hijabah
Bertugas memberikan pengawalan khusus terhadap Khlifah, hal ini dikarenakan kekhawatiran muawiyah melihat 3 kholifah sebelumnya meninggal karena terbunuh
2.        Pembentukan Diwanul Khatam
Bertugas mencatat semua kebijakan Kholifah mengantisipasi peristiwa pembunuhan Kholifah Utsman yang disebabkan Surat misterius
3.        Pembentukan Diwanul Barid
Departemen pos yang bertugas mengantarkan surat-surat resmi pemerintah
4.        Pembentukan Shohibul Kharaj
Bertugas memungut pajak dari rakyat.


Daftar Pustaka

Pulungan, J Suyuthi . 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta
Syalabi, Ahmad. 1998. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid I. terjemahan Muchtar Yahya dan Sanusi Latif. Pustaka Al-Husna: Jakarta.
Nasution, Harun. 1986. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. UI-Press: Jakarta.
Islam. Jilid I. Departemen Agama RI.