pelajaran faraidh
BAB I
WARIS DALAM
PANDANGAN ISLAM
SYARIAT Islam
menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya
ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan
kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari
seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan,
besar atau kecil.
Al-Qur'an
menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak
kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima
semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai
anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas
saudara seayah atau seibu.
Oleh karena
itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan
ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma'
para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam
sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci,
kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu
bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta
merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
A.
Definisi Waris
Al-miirats,
dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata
waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya
sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu kaum kepada kaum
lain.
Pengertian
menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan
harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an
banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya
Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi
Daud ..." (an-Naml: 16)"... Dan Kami adalah pewarisnya."
(al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam
hadits Nabi saw.:
'Ulama adalah ahli waris para
nabi'.
Sedangkan makna
al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan
dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak
milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian
peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada
prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang,
baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang
berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi
yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum
diberikan kepada istrinya).
Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Dari sederetan
hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua keperluan dan
pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan
catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut
menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga
pemakamannya. Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya
pemakaman, dan sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang
terakhir.
Satu hal yang
perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut akan
berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya
maupun dari jenis kelaminnya.
2. Hendaklah utang piutang yang
masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta
peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum
utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin
bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."
3. Wajib menunaikan seluruh
wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta
peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang
yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan
seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah
sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya,
termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila ternyata
wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya, maka
wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli
warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan
Sa'ad bin Abi Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan
seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda:
"... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila engkau
meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada
meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada orang."
4. Setelah itu barulah seluruh
harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan
Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai
dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah
ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta
waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
B. Bentuk-bentuk Waris
- Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
- Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak
ayah).
- Hak waris secara tambahan.
- Hak waris secara pertalian rahim.
Pada bagian berikutnya
butir-butir tersebut akan saya jelas secara detail.
C. Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan
seseorang mendapatkan hak waris:
- Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua
orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
- Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal
(syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau
tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun
pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk
mendapatkan hak waris.
- Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut
juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah
kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini
orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan)
yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah
mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena
itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang
dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik
adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
D. Rukun Waris
Rukun waris ada tiga:
- Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli
warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
- Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai
atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan
kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
- Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan
yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
E.
Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada
tiga:
- Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun
secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
- Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris
meninggal dunia.
- Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah
bagian masing-masing.
Syarat Pertama:
Meninggalnya pewaris
Yang
dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara
hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli
warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap
seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang
hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim
memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.
.Syarat Kedua: Masih
hidupnya para ahli waris
Maksudnya,
pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara
syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak
untuk mewarisi.
Sebagai contoh,
jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal
dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui
mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling
mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh
kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu
kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan,
mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
Syarat Ketiga:
Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini
posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri,
kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian
yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris
perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang
pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung,
saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum
bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang
karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub),
serta ada yang tidak terhalang.
F.
Penggugur Hak Waris
Penggugur hak
waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi
gugur, dalam hal ini ada tiga:
1.
Budak
Seseorang yang
berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari
saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi
milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak
yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang
telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang
disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan penggugur
hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak
milik.
2. Pembunuhan
Apabila seorang
ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia
tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh
berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman
hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha
yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar
mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan
bagiannya."
Ada perbedaan
di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi
menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua
jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
Sedangkan
mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang
direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat
bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap
jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishash, membayar diyat, atau
membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai penggugur hak waris.
Sedangkan
menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap
menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam
pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi
lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut saya,
pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.
3. Perbedaan Agama
Seorang muslim
tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya.
Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya: "Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan
tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim).
G. Ahli
Waris dari Golongan Laki-laki
Ahli waris
(yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada lima
belas: (1) anak laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak,
(4) kakek (dari pihak bapak), (5) saudara kandung laki-laki, (6) saudara
laki-laki seayah, (7) saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki dari saudara
kandung laki-laki, (9) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman
(saudara kandung bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki
dari paman (saudara kandung ayah), (13) anak laki-laki paman seayah, (14)
suami, (15) laki-laki yang memerdekakan budak.
Catatan
Bagi cucu
laki-laki yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari
cucu) dan seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki.
Begitu pula yang dimaksud dengan kakek, dan seterusnya.
H. Ahli Waris dari Golongan Wanita
Adapun ahli
waris dari kaum wanita ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak
perempuan (dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek
(ibu dari bapak), (6) saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah,
(8) saudara perempuan seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak.
Catatan
Cucu perempuan
yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting
perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan
nenek --baik ibu dari ibu maupun ibu dari bapak-- dan seterusnya.
BAB II
PEMBAGIAN
WARIS MENURUT AL-QUR'AN
JUMLAH bagian
yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah (1/2),
seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan
seperenam (1/6). Kini mari kita kenali pembagiannya secara rinci, siapa saja
ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang berhak ia terima.
A.
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah
Ashhabul furudh
yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima,
satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul
furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya
seperti berikut:
1. Seorang suami
berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat apabila pewaris
tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak
keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan
bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang ditinggalkan
istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..."
(an-Nisa': 12)
2. Anak perempuan (kandung)
mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:
- Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan
tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.).
- Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah
firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia
mendapat separo harta warisan yang ada". Bila kedua persyaratan tersebut
tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapat bagian setengah.
3. Cucu perempuan keturunan anak
laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan tiga syarat:
- Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu
laki-laki dari keturunan anak laki-laki).
- Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).
- Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak
laki-laki.
Dalilnya sama
saja dengan dalil bagian anak perempuan (sama dengan nomor 2). Sebab cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak kandung
perempuan bila anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya
"yushikumullahu fi auladikum", mencakup anak dan anak laki-laki dari
keturunan anak, dan hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama.
4. Saudara kandung perempuan
akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga syarat:
- Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.
- Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).
- Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula
mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.
Dalilnya adalah firman Allah
berikut:
"Mereka
meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (an-Nisa':
176)
5. Saudara perempuan seayah akan
mendapat bagian separo dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat
syarat:
- Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.
- Apabila ia hanya seorang diri.
- Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
- Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak,
baik anak laki-laki maupun perempuan.
Dalilnya sama dengan Butir 4
(an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi kesepakatan ulama.
B.
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat
Adapun kerabat
pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya
ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:
1. Seorang suami berhak mendapat
bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya dengan satu syarat,
yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak
laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari
suami lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:
"... Jika istri-istrimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
É" (an-Nisa': 12)
2. Seorang istri akan mendapat
bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya dengan satu syarat,
yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut lahir dari
rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman
Allah berikut:
"... Para istri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak ..."
(an-Nisa': 12)
Ada satu hal
yang patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- tentang bagian
istri. Yang dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah bagi
seluruh istri yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata
lain, sekalipun seorang suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka
tetap mendapat seperempat harta peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan
firman Allah di atas, yaitu dengan digunakannya kata lahunna (dalam bentuk
jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'. Jadi, baik suami meninggalkan seorang
istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap seperempat dari harta
peninggalan.
C.
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan
Dari sederetan
ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri.
Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta
peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut
lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman
Allah SWT:
"... Jika kamu mempunyai
anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu
..." (an-Nisa': 12)
D.
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga
Ahli waris
yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris
ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:
- Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
- Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
- Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
- Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
Ketentuan ini terikat oleh
syarat-syarat seperti berikut:
1. Dua anak
perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni
anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"... dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga
dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)
Ada satu hal
penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum yang
ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak
perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini
merupakan kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw.
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis
Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana
diungkapkan dalam bab sebelum ini.
Hadits tersebut
sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah 'dua anak
perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut
adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi
ijma' para ulama. Wallahu a'lam.
2. Dua orang cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), dengan
persyaratan sebagai berikut:
- Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau
perempuan.
- Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.
- Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.
3. Dua saudara kandung perempuan
(atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan persyaratan sebagai
berikut:
- Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun
perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
- Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai
saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
- Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:
"...
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)
4. Dua saudara perempuan seayah
(atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan syarat sebagai berikut:
- Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.
- Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara
laki-laki seayah.
- Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun
perempuan).
Persyaratan
yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian
dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan,
hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung
(baik laki-laki maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama
bahwa ayat "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal
..." (an-Nisa': 176) mencakup saudara kandung perempuan dan saudara
perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam
pengertian ayat tersebut. Wallahu a'lam.
E.
Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga
Adapun ashhabul
furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu
dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak mendapatkan
bagian sepertiga dengan syarat:
- Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-laki.
- Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki
maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu.
Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (an-Nisa': 11)
Juga
firman-Nya:
"... jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam..." (an-Nisa': 11)
F.
Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam
Adapun asbhabul furudh yang
berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka adalah (1) ayah,
(2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, (5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki
dan perempuan seibu.
1. Seorang ayah akan mendapat
bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak, baik anak laki-laki atau
anak perempuan. Dalilnya firman Allah (artinya): "... Dan untuk dua orang
ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak ..." (an-Nisa': 11)
2. Seorang kakek (bapak dari
ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak laki-laki
atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak --dengan syarat ayah
pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek akan
menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan yang akan saya
rinci dalam bab tersendiri.
3. Ibu akan memperoleh seperenam
(1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris, dengan dua syarat:
- Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu
laki-laki keturunan anak laki-laki.
- Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik
saudara laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun
seibu. Dalilnya firman Allah (artinya):
"... jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam
..." (an-Nisa': 11).
3.
Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki
seorang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6), apabila yang meninggal
(pewaris) mempunyai satu anak perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan
tersebut mendapat bagian setengah (1/2), dan cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki pewaris mendapat seperenam (1/6)
BAB III
ASHABAH
KATA 'ashabab
dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian,
dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi. Dalam
kalimat bahasa Arab banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi
kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam Al-Qur'an, kata ini sering kali
digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:
"Mereka berkata: 'Jika ia
benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya
kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'" (Yusuf: 14)
Maka jika dalam
faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka
melindungi dan menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan
pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak
disebutkan banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas.
Sebagai contoh, anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara
kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan paman (saudara kandung
ayah). Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.
Pengertian
'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang
menguasai harta waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga
menerima seluruh sisa harta warisan setelah ashhabul furudh menerima dan
mengambil bagian masing-masing.
A.
Dalil Hak Waris Para 'Ashabah
Dalil yang
menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam
Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah (artinya):
"dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).
Dalam ayat ini
disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing
mendapatkan seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila
pewaris tidak mempunyai anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik
kedua orang tua. Ayat tersebut juga telah menegaskan bahwa bila pewaris tidak
mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3). Namun, ayat tersebut
tidak menjelaskan berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa
setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan
demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an
yang lainnya ialah (artinya) "jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak." (an-Nisa': 176).
Pada
ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru
saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan
yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna
kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat bahwa seluruh harta
peninggalan menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil
dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:
"Bagikanlah harta
peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak
laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)
Hadits ini
menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya.
Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling
utama dari 'ashabah.
B.
Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah
terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah
(karena sebab). Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak.
Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik budak) dapat menjadi ahli waris bekas
budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak mempunyai keturunan.
Sedangkan
'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak
tercampur unsur wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang
lain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair (menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang
lain).
1.'Ashabah
bin nafs
'Ashabah bin
nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum
wanita, mempunyai empat arah, yaitu:
- Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki
mulai cucu, cicit, dan seterusnya.
- Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti
hanya dari pihak laki-laki, misalnya ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan
seterusnya.
- Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki,
saudara laki-laki seayah, anak laki-laki keturunan saudara kandung
laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan
seterusnya. Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan
yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya yang laki-laki. Adapun
saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan mereka
termasuk ashhabul furudh.
- Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung
maupun yang seayah, termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah
'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih
didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada
arah saudara.
2.'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya
'Ashabah bi
ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita:
- Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan
saudara laki-lakinya (yakni anak laki-laki).
- Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah
bila berbarengan dengan saudara laki-lakinya, atau anak laki-laki pamannya
(yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik sederajat dengannya
atau bahkan lebih di bawahnya.
- Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama saudara
kandung laki-laki.
- Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan
dengan saudara laki-lakinya, dan pembagiannya, bagian laki-laki dua kali
lipat bagian perempuan.
Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi
'Ashabah bi
Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:
Pertama: haruslah wanita yang
tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul furudh,
maka tidak akan menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh, anak perempuan
dari saudara laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih dengan adanya
saudara kandung laki-laki dalam deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan
demikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah termasuk ashhabul furudh.
Kedua: laki-laki yang menjadi
'ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak dapat
menjadi pen-ta'shih (penguat) cucu perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak
sederajat dengan cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagai pen-tahjib
(penghalang) hak waris cucu. Begitu juga anak laki-laki keturunan saudara
laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung perempuan disebabkan tidak
sederajat.
Ketiga: laki-laki yang menjadi
penguat harus sama kuat dengan ahli waris perempuan shahibul fardh. Misalnya,
saudara laki-laki seayah tidak dapat men-ta'shih saudara kandung perempuan.
Sebab saudara kandung perempuan lebih kuat kekerabatannya daripada saudara
laki-laki seayah.
3.'Ashabah ma'al Ghair
'Ashabah ma'al
Ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan seayah
apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara
laki-laki. Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah
bila berbarengan dengan anak perempuan --atau cucu perempuan keturunan anak
laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah. Jenis 'ashabah ini di
kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Dr.Ali
Imran Sinaga M.Ag Diktat Ilmu Faraid
Syekh
Hasan Bin Muhammad,At-Tuhfatussaniyah,Maktab
Mahfuzo Padang Sidempuan
Drs.Asyumi
A.Rahman,Ilmu Fiqih,Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam